PAHLAWAN LITERASI DARI KANIBUNGAN

Cerpen karya Zefanya Monic Gendis kinanti (kelas 7C)

Cerpen ini menjadi juara menulis dan bercerita fiksi dalam acara peringatan hari bulan bahasa dan hari pahlawan di SMP YAYASAN PUPUK KALTIM 2020.

PAHLAWAN LITERASI DARI KANIBUNGAN

Apa yang kalian bayangkan ketika mendengar kata superhero atau pahlawan? Mungkin kalian akan membayangkan sosok seperti Superman atau Spiderman. Namun sebenarnya, superhero bisa saja orang-orang dari kalangan biasa yang tidak mengenakan kostum hero.

Pada bulan Maret tahun 2020, terjadi pandemi covid-19 di Indonesia. Demi menghindari kemungkinan terinfeksi virus ini, sekolah di seluruh Indonesia pun diliburkan. Hari berganti hari, sekolah mulai dibuka kembali. Namun ada yang terasa berbeda kali ini. Sekolah dilakukan tanpa tatap muka dan hanya melalui jejaring internet.

Suatu hari di lorong jalan Dusun Kanibungan, Kota Bontang, berjalanlah seorang wanita bernama Lely Hendrikus. Wanita ini memang sering berkeliling untuk sekedar melihat keadaan di desanya. Di tengah perjalanan, Lely menghampiri seorang anak yang menarik perhatiannya.

“Kamu sedang apa?” Tanya Lely pada bocah tersebut.

“Aku memainkan permainan di ponselku!” Seru bocah itu.

Lely merasa sedih karena sering sekali melihat pemandangan ini sejak pandemi. Menurutnya, pembelajaran daring seperti ini tidak begitu efektif apalagi jika muridnya tidak diawasi orang dewasa dan memiliki akses internet yang buruk. Setelah melihat kondisi di sekitar tempat tinggalnya, Lely pulang dan langsung ke ruang baca di rumahnya. Ia memutuskan untuk segera melakukan perubahan.

“Apa yang harus kulakukan ya?” Pikirnya dalam-dalam.

Karena merasa bingung, ia pun memutuskan untuk membaca buku. Tiba-tiba, buku yang ia baca dapat bergerak dan berbicara.

“Hei,bagaimana kalau kau meningkatkan minat baca pada anak-anak?” Ucap buku itu.

“Hah?! Kok kamu bisa berbicara?” Tanya Lely keheranan.

“Oh tentu bisa. Menurutku, kamu juga harus membuat suatu komunitas!” Ucap buku itu lagi.

“Wah! Boleh juga. Tapi apa namanya ya?” Tanya Lely tanpa menghiraukan kalau yang diajak berbicara adalah sebuah buku.

“Bagaimana kalau “Komunitas Peduli Literasi”?” Seru buku tersebut.

“Ide bagus tuh!” Seru Lely senang.

“Lely… Lely…!” Panggil teman-teman Lely dari luar rumah.

Lely kaget mendengar panggilan teman-temannya.

“Oh, aku ternyata hanya bermimpi!” Seru Lely. 

Lely segera bangun dan menemui teman-temannya. Ia menceritakan keinginannya untuk melakukan perubahan di dusunnya, dan juga tentang mimpinya. Teman-teman Lely antusias mendengar semua yang disampaikan Lely dan mendukung penuh untuk segera mewujudkannya bersama-sama.

Mereka bergerak cepat untuk memulainya, yaitu menyusun kelas sesuai kategori umur anak-anak dan metode pembelajarannya dengan serius dan benar.

“Untuk kelas pertama kita pakai artikel yang dirangkum untuk mengajar anak usia 8 sampai 13 tahun dan kelas kedua adalah kelas baca tulis untuk anak PAUD dan SD kelas 1.” Terang Lely. Mereka mengerti semua penjelasan Lely dan menyetujuinya.

Waktu terus berlalu, usaha Lely dan teman-temannya berbuah baik. Banyak orang tua murid yang merasa senang dengan keberadaan komunitas yang didirikan oleh Lely dan teman-temannya. Para orang tua murid merasa terbantu, karena mereka selama ini merasa kesulitan setelah menjadi “guru dadakan”.

“Terima kasih atas kebaikan hati kalian. Keberadaan kalian benar-benar sangat membantu kami para orang tua,” ucap salah satu orang tua murid.

“Tidak masalah bu. Kami memang berniat membantu.” Jawab Lely mewakili teman-temannya.

Berita tentang komunitas ini sudah menyebar, dan dengan cepat komunitas ini mulai ramai dikunjungi anak-anak. Lely berniat membuka kelas membaca ringan karena jumlah murid yang semakin bertambah. Lely juga ingin menumbuhkan kebiasaan tepat waktu kepada murid-murid komunitasnya. Namun sayangnya, ternyata masih ada anak di Dusun Kanibungan yang belum terdaftar di Komunitas Peduli Literasi.

Semua kesulitan terkadang Lely dan teman-temannya hadapi. Mulai dari mengumpulkan materi pembelajaran, menyiapkan peralatan seperti kertas dan alat tulis, menemukan tempat belajar yang nyaman, serta mengajak anak-anak untuk datang dan belajar di komunitas. Lely beruntung mempunyai teman-teman dan relawan yang mampu membantunya, serta didukung lingkungan yang menerima komunitas yang ia buat dengan senang hati demi menumbuhkan kesadaran akan pentingnya literasi dan disiplin dalam belajar. Kini Lely dan teman-temannya serta anak-anak di Dusun Kanibungan semakin mencintai buku dan membacanya.

Itulah cerita mengenai Lely yang menjadi pahlawan literasi di tempat asalnya, Dusun Kanibungan, Kota Bontang. Lely bisa dijuluki pahlawan berkat jasanya yang telah berusaha mencerdaskan anak bangsa. Menjadi pahlawan di era saat ini tidaklah harus mengangkat senjata dan berperang, namun bisa dilakukan dengan menambah wawasan dan membagikannya. Nah sekarang, apakah kita sudah siap menjadi pahlawan untuk Indonesia generasi yang akan datang?